RSS

Pembalasan Buaya

10 Dec

Sebelum anda membaca tulisan ini lebih lanjut, jangan membayangkan bahwa ini adalah tentang perseteruan ‘cicak’ dan ‘buaya’ yang menguasai pemberitaan media beberapa bulan terakhir ini. Tulisan ini memang masih menceritakan ‘buaya’ yang sama, namun dalam konteks yang lebih kecil.

Anda tahu permainan Kim? Ya, itu adalah permainan rakyat yang berkembang luas di wilayah Sumatera Barat, yang mirip dengan permainan Bingo. Permainan ini biasa dimainkan di malam menjelang pesta pernikahan, di acara reuni atau acara-acara lain yang mengumpulkan banyak orang di suatu tempat. Masing-masing peserta diberi satu lembar kertas berisi deretan angka acak dari 1-100 membentuk baris dan kolom, dimana masing-masingnya terdiri dari 5 angka. Permainan ini dipandu oleh host yang piawai bernyanyi sambil melawak. Musik dimainkan dengan organ tunggal dan mulailah host-nya bernyanyi jenaka sambil mengacak nomor yang tersedia didalam pot. Nomor yang terpilih akan diselipkan dalam syair yang dinyanyikan dan kalau anda nggak konsentrasi akan terdengar seolah-olah angka itu benar-benar bagian dari syair lagunya. Tugas peserta adalah mencocokkan nomor yang disebutkan dengan angka-angka di lembar kertasnya. Jika angka itu ada, maka ia akan menyilang/ melingkari angka tersebut. Demikian seterusnya sampai 5 angka dalam satu baris telah terpenuhi, maka andalah pemenangnya. Hadiah-hadiah menarik selalu mengiringi permainan Kim ini. Yang lebih heboh lagi, selalu ada grand price untuk peserta yang seluruh angka dalam lembar kertasnya telah terpenuhi. Seru, kocak dan merakyat.

Demikianlah akhir minggu yang lalu kantor saya mengadakan hajatan Temu Nasabah alias Customer Gathering di sebuah hotel di Pekanbaru. Untuk memeriahkan acara makan malam itu, panitia berencana mengadakan permainan Kim, yang menjadi acara unggulan, sehingga ikut dicantumkan pada undangan yang disebar ke nasabah dari berbagai kalangan. Aneka hadiah dari sponsor pun sudah berdatangan pada H-1, mulai dari rice cooker, kulkas, AC split sampai LCD TV. *ngiler* Tapi apa daya, pada hari itu pula ‘buaya’ berulah. Buaya ngotot bahwa permainan Kim itu adalah judi, sehingga acara Temu Nasabah terancam dibubarkan karena mereka tidak mau dianggap merestui perjudian. Disinilah ambiguitas sikap buaya semakin terang terlihat. Yang membuat saya tidak habis pikir adalah beberapa fakta berikut:

1. Peserta Temu Nasabah tidak membayar sepeserpun untuk memperoleh undangan, termasuk lembar kertas kim nantinya, jadi bagian mana yang membuatnya termasuk judi?

2. Tahun lalu, di tempat yang sama, dengan artis kim yang sama dan cara permainan yang sama, acara temu alumni kampus saya dulu tidak ada halangan apapun. Izin pun mengalir mulus dari Sarang Buaya. Apakah karena acara itu dihadiri oleh walikota Pekanbaru yang notabene adalah salah satu alumni?

3. Masyarakat bisa menyebutkan dengan gamblang tempat-tempat di kota ini dimana perjudian ala kasino (bukan kasino yang ini 😛 ) masih dengan tenang beroperasi. Apa tindakan buaya? Entahlah…

Panitia kalang kabut dan berusaha melobi. Entah siapa dan bagaimana cara melobinya, akhirnya Pemimpin Tertinggi Buaya di wilayah itu memberikan izin secara lisan, “ya sudah….kalian teruskan saja permainan Kim-nya”. Tapi sang buaya dengan bintang satu nangkring dibahunya itu enggan mengeluarkan izin tertulis. “Dohh… ini alamat buruk nih, ” gerutu bos besar saya. Beliau mahfum sama perilaku buaya. Diam-diam mematikan. Keliatan ngantuk padahal lagi mengincar mangsa. Ahli memasang jebakan… Begitulah stigma yang melekat pada buaya, dan akhir-akhir ini semakin nyata diperlihatkan oleh buaya-buaya dari gang Trunojoyo yang bintangnya lebih banyak, perutnya lebih buncit dan makannya lebih banyak itu.

Singkat cerita, acara Customer Gathering itupun berlangsung tanpa acara Kim. Bagaikan makan sate tanpa kuah. Hadiah-hadiah dari sponsor kemudian dibagikan sebagai hadiah pintu (door prize) dimana pegawai kantor saya terlarang untuk mengikutinya. Padahal waktu acaranya direncanakan diisi dengan permainan Kim, pegawai boleh ikut. Ehh….ujung-ujungnya malah dilarang.. grrhh… 😦

Begitulah…usut punya usut, muncullah cerita dari panitia yang terlibat aktif dalam negosiasi perijinan permainan Kim itu. Alasan penolakan ijin pengisian acara dengan permainan Kim terkesan mengada-ada (seperti mengada-adanya tuntutan kepada Raja Cicak tempo hari… 🙂 ). Secara tidak sengaja terlontar ucapan dari salah satu anak buah buaya, “kalian sih…waktu ngadain pertandingan Golf kemaren nggak ngasih undangan yang cukup buat Pemimpin Tertinggi Buaya.” Nah lho…. ceritanya balas dendam nih?? Jadi begini…. pertengahan tahun yang lalu memang kantor saya mengadakan pertandingan ketok bola di lapangan rumput nan halus plus ongkos permainan yang mahal sekali. Undangannya ya para pengusaha dan pejabat daerah, dengan pola distribusi undangan seperti biasanya: Pengusaha mbayar dan pejabat daerah gratis..tis..tis.. Pun begitu dengan Pemimpin Tertinggi Buaya, yang mendapatkan 1 undangan gratis. Tetapi tabiat buaya yang tidak pernah puas membuat sang Pemimpin dengan santai ‘minta jatah’ beberapa undangan gratis lagi buat kroni-kroninya, pas di hari H. Panitia kala itu tidak siap dan (mungkin) tak menyangka pemimpin buaya akan minta jatah tambahan lagi, sehingga hanya sanggup menyediakan 1 undangan gratis saja. Konon Pemimpin buaya pun murka alias mutung dan nggak jadi menggetok bola siang itu.

Begitulah… Kalau benar penolakan ijin mengadakan acara suatu instansi dipersulit oleh buaya karena hal-hal yang tidak prinsipil seperti itu…sungguh sangat tidak profesional sekali. Dari sisi mana lagi buaya harus memperbaiki citranya di masyarakat? Atau buaya memang udah nggak peduli soal citra… yang penting perut kenyang 😦

 
14 Comments

Posted by on December 10, 2009 in Santai

 

14 responses to “Pembalasan Buaya

  1. nh18

    December 10, 2009 at 5:10 pm

    Addoooohhhh …
    Kok dangkal sekali ya Pak … cara berfikirnya …

    Lagian …
    Cuma tiket gratis maen golep … kok bisa jadi maen pengaruh – pengaruhan begini …

    Logika jadi jongkok tak keruan jika arogansi nafsu sudah menutup mata

    Eniwei …

    Dari Gunung … turung angka tujuh …
    ditengahnya pohon melati …
    pohon melati tumbuh sepuluh …
    E E sepuluh pohon … di sunting putri …

    Putri Elok rupawan … memakai baju …
    baju merah berkancing Lima Belas …

    Hahahaha (inimah lagu Kim ya Pak …)

    Salam saya

     
    • soyjoy76

      December 10, 2009 at 5:50 pm

      Huahaha… Om pernah main Kim juga kayaknya nih… 😀

       
  2. aurora

    December 10, 2009 at 6:39 pm

    yang buaya memang tetap dan akan tetap menjadi buaya. sikap liciknya itu lho! sebagian besar dari mereka itu punya satu-satu… bahaya lagi, kalau petinggi-petingi raja buaya itu… bukan hanya licik, mereka juga punya kekuasaan…. huh.. negeriku, mohon, bicaralah!!!

    Anderson:
    Yah…itu yang paling berbahaya Rif… orang licik dikasih kekuasaan… bahayyya…

     
  3. nakjaDimande

    December 10, 2009 at 7:30 pm

    duuhh, beruntung sekali buayanya jadi curhatan uda anderson kali ini 😀

    main Kim, disini setiap acara reuni SMA selalu ada permainan itu untuk memeriahkan suasana **uda anderson bisa jadi penyanyinya kan? 😛

    Anderson:
    Tuuh….kan, dimana-mana orang main Kim juga gakpapa *masih sewot*

    Eh…ndaklah Bundo…penyanyi Kim itu kan lidahnya supercepat ngomong bahasa minangnya…dan yang pasti, harus sambil ngelawak pula..

     
  4. Indo Hijau

    December 10, 2009 at 8:50 pm

    Realitas itu sebenarnya ada dimana-mana, tetapi pada nggak berani bunyi. Lagian buaya memang hanya memikirkan perutnya sendiri.
    Salam Kenal Mas.

    Anderson:
    Bener mas, selagi berhadapan sama buaya, realitas itu ada dimana-mana dan dalam bentuk apa aja.
    Salam kenal Mas…

     
  5. DV

    December 11, 2009 at 5:31 am

    Pengalaman seperti itu, kita harus siapkan ‘oli’, Bos…
    Buaya cuma bisa merayap, dikasi oli sedikit jadi licin dan tergelincir… :))

    *perasaan dulu jaman bokap gw kerja di bank (yg sama) ngga pake acara dilarang-larangan deh ama si buaya… atau jgn2 mereka udah nganggap bank itu sama dengan cicak.. kadal or iguana instead!*

    Anderson:
    Justru itu, Bro… mungkin oli-nya cuma cukup buat ijin lisan. Kalo mau yang tertulis, olinya musti yang lebih kental 😛

     
  6. vizon

    December 11, 2009 at 8:35 am

    definisi judi sebetulnya ada pada cara mendapatkan hadiahnya, bukan pada jenis permainannya. pandangan bos buaya itu memang terlihat sangat mengada-ada. dan, itu sangat sering mereka lakukan…

    saya sangat skeptis untuk berharap terjadi perubahan dalam tubuh institusi para buaya itu. sepertinya sangat sulit. sepertinya penjahat yang sesungguhnya di negeri ini adalah para buaya itu sendiri… 😦

    Anderson:
    Ya…begitulah…siapa pula yang berani mengacak-acak sarang buaya? Bahkan walaupun posisi raja hutan saat ini sedang dikuasai oleh macan loreng yang kalem 🙂

     
  7. Wempi

    December 11, 2009 at 9:39 pm

    Mungkin perlu rekruter independen untuk menjaring bibit2 buaya unggul untuk kedepannya. supaya sarangnya benar2 bersih.

     
  8. Fais

    December 13, 2009 at 6:14 pm

    cara berfikir’y pendek bnget sich..,

     
  9. racheedus

    December 14, 2009 at 9:47 am

    Yah, dasar buaya! Kalo mangsa nggak dapat, ada aja cara untuk bikin ulah.

     
  10. nanaharmanto

    December 14, 2009 at 10:04 pm

    wah, jelas bgt alasannya mengada-ada..
    ngeselin banget ya…*jadi ikut sebel deh….

     
  11. Ria

    December 17, 2009 at 4:45 pm

    buaya..buaya…kelakuan bener2 memprihatinkan…
    padahal cuman undangan kan mas!!!
    bener2 deh!

     
  12. boyin

    December 19, 2009 at 10:00 am

    ibu mertua saya cukup benci juga ama buaya sampai kalo pacar adik ipar saya dari anak buaya langsung terang2an gak suka…kayaknya buaya serta anak2nya musti digeneralisasi kayak gini kali yah…walo fakta dilapangan anak tukang korupsi malah punya bargaining power lebih…heee

     
  13. Tarmizi Musbar Chaniago

    August 18, 2013 at 1:08 am

    Kalau beli kupon/inset,jelas judi.Kalau tidak beli semuanya di tanggung penyelenggara dan adah adiahnya,ya hiburan semata.

     

Leave a reply to soyjoy76 Cancel reply